Minggu, 17 Agustus 2014

Di Mana Doa Kita?

Pada Januari 1991, Perang Teluk II meletus. Harapan dan doa ratusan juta manusia sirna. Tiga tokoh dikenang dan dinilai berkaitan dengan perang tersebut.

Saddam, "Pemimpin yang Diilhami" (begitu salah satu gelarnya), yang merasa bangsanya berhak bangsanya memiliki Kuwait, sehingga merebut dan enggan menanggalkannya; Fahd, "Pelayan Dua Tanah Suci" (demikian gelar yang dipilihnya), yang mengundang dan mengizinkan wilayahnya digunakan oleh pasukan multinasional untuk mengusir Irak yang dianggap agresor; dan Bush, yang populer sebagai Pemimpin Negara Demokrasi dan Polisi Keamanan Dunia", menabuh genderang perang, menarik picu, dan menekan tombol. Hasilnya adalah gemerlapannya langit Baghdad dengan "panah-panah api" yang mengintai, menyembur, serta membakar jiwa dan peradaban manusia.

Tiga penguasa memamerkan kekuasaannya di atas puing-puing harapan dan doa ratusan juta manusia; Allah tahu persis apa yang berada di balik benak para yang mulia ini. Dia yang menilai dan memberi balasan yang setimpal dan sesuai, kalaupun menangguhkan doa-doa itu, tentulah tidak akan mengabaikannya. Orang-orang yang dikecewakan mungkin akan mengulang ucapan "makhluk halus" yang diabadikan oleh Al-Quran (QS 72: 8-9), ketika mereka menemukan langit penuh dengan "penjagaan ketat dan semburan-semburan api": Sesungguhnya kami tidak tahu, apakah keburukan yang dikehendaki bagi penduduk bumi ataukah Tuhan justru menghendaki kebaikan bagi mereka (QS 72: 10).

Kalaupun doa kita telah dikecewakan oleh Allah, kita tetap yakin bahwa Allah-lah yang memiliki kekuasaan. Dia yang memberi dan mencabutnya, dan "dalam genggaman tangan-Nya segala kebajikan" (QS 3: 26). Dalam konteks peperangan, Dia mengingatkan: Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia (akibatnya) amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia (akibatnya) amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui (QS 2: 216). Karena itu, Anda boleh menyesal dan sedih, tetapi jangan mengutuk dan terbawa emosi terlalu jauh. Siapa tahu Allah memenangkan agama-Nya melalui usaha hamba-Nya yang aniaya.

"Jangan salahkan Allah jika doa tak dikabulkan dan jangan pula menggerutu atau jemu," demikian tulis Abdul Qadir Jailani (1078-1167 M), seorang sufi besar dalam bukunya Mafatih Al-Ghayb (Penyingkap Kegaiban). "Jika Anda memohon tibanya cahaya siang pada saat kian memekatnya kegelapan malam, maka penantian Anda akan lama, karena ketika itu kepekatan akan meningkat hingga tibanya fajar. Tetapi yakinlah bahwa fajar pasti menyingsing, baik Anda kehendaki atau tidak. Jika Anda menghendaki kembalinya malam pada saat itu, maka doa Anda tidak akan dikabulkan karena Anda meminta sesuatu yang tak layak, dan Anda akan dibiarkan-Nya meratap, lunglai, jemu dan enggan. Tetapi, Anda salah jika jemu berdoa, karena sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan (QS 94: 5-6). Itu terjemahan ayatnya. Adapun tafsirnya adalah 'sesaat setelah datangnya satu kesulitan pasti disusul oleh dua kemudahan', karena itu -- tetaplah yakin -- bahwa 'dalam genggaman tangan-Nya terdapat segala kebajikan'."

Bila apa yang dimohonkan tak diperoleh dengan segera, Anda tak akan rugi. Karena, lanjut Abdul Qadir Jailani, Nabi pernah bersabda: "Pada hari kebangkitan ada yang terheran-heran melihat ganjaran perbuatan yang dia rasakan tak pernah dilakukannya. Ketika itu disampaikan kepadanya: 'Inilah doa-doamu di dunia yang dulu tidak dikabulkan.'" Karena itu, janganlah jemu berdoa, juga jangan menggerutu, apalagi mengutuk![]

M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, halaman 155-157
TERBARU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...